Sunday, September 9, 2007

Kisah Seorang Ayah dan Lima Anaknya

   DI sebuah keluarga dengan lima anak, seorang ayah mendidik anak-anaknya yang sedang tumbuh dewasa. Keluarga tersebut memelihara berbagai ternak sebagai mata pencaharian mereka.
Suatu hari, anak yang paling besar menjual seekor ayam tanpa sepengetahuan ayahnya dan saudaranya yang lain. Si anak itu kemudian melapor kepada ayahnya, bahwa satu ekor ayamnya hilang diembat pencuri.

   Ayahnya kemudian memerintahkan kepada semua anaknya, carilah pencurinya sampai ketemu. Namun tak seorang pun di antara kelima anaknya yang bisa memenuhi perintah ayahnya. Walhasil, si pencuri ayam tak ketemu dan si anak pertama merasa aman, karena memang tak satu pun saudaranya yang mengetahui ulahnya.

   Sebulan kemudian, keluarga itu kehilangan satu ekor kambing. Kali ini tak seorang pun di antara kelima anak itu yang mencuri Kambing. Walhasil, kambing itu memang dicuri oleh orang lain.
Kemudian, di benak anak pertama tumbuh kecurigaan terhadap keempat bersaudaranya. Ia berpikir, di antara adik-adiknya pasti melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan saat mencuri ayam. Tapi ia tak bisa sembarangan menuduh karena tak punya bukti. Hanya dalam benaknya saja terus hidup penuh kecurigaan pada saudaranya.
 
   Kelima bersauadara itu kemudian melapor kepada ayahnya. Dengan dingin namun suaranya tegas, sang ayah memerintahkan kepada lima anakna.

   "Carilah pencuri ayam sampai ketemu," perintahnya.

   "Pak, sekarang yang hilang kambing," timpal anaknya yang pertama.
 
   "Sekali lagi saya katakan, carilah pencuri ayam itu," kata ayahnya.

   Keempat anaknya juga heran dengan jawaban ayah mereka. Giliran mereka mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan anak yang pertama.

  "Sungguh Pak, sekarang yang hilang seekor kambing, bukan lagi ayam."

   Ayahnya dengan geram dan mata melotot membentak, "Saya sudah tahu. Makanya kalian berlima harus bisa menemukan pencuri ayam. Kalian berlima anak bodoh!"

   Kisah tersebut ditulis oleh Thomas Freidman, wartawan New York Times keturunan Yahudi saat meliput konflik Timur Tengah. Freidman sedang menceritakan sebuah keluarga di Libanon yang terus dicekam perang saudara tanpa berkesudahan.

   Kisah tadi selalu saya ingat ketika persoalan di negeri kita seakan terus berulang. Persoalan yang terus menimpa kita sepintas memang seperti hal baru, mungkin karena bentuknya saja, tapi substansinya sebetulnya persoalan lama yang terus berulang.

   Karena seperti kelima anak tadi, yakni tak mampu mengungkap dan menuntaskan persoalan sejak awal, makanya bangsa kita seperti limbung ketika ditimpa persoalan. Bukan penyelesaian atau solusi yang ditemukan, melainkan mengembangkan sikap penuh curiga dan saling mencari kambing hitam.
Rentetan kejadian seperti polisi menembak sesama polisi, menembak istri, atau orang lain, hingga menembak bosnya sendiri, lalu polisi bunuh diri, dan yang tragis warga sipil yang lewat di jalan tewas karena peluru nyasar, selalu saja berulang-ulang.

   Begitu pula wakil rakyat dan pejabat melakukan korupsi, bukan hal yang baru. Dari rejim ke rejim selalu berulang. Yang juga sedang terus ulang adalah seorang ibu membunuh anaknya, mulai dari kasus Aniq Qoriah yang membekap tiga anaknya sampai mati, lalu Mercy di Jawa Timur yang meracuni empat anaknya, juga sampai mati.

   Jangan dikira rentetan kejadian yang mengerikan dan mengusik rasa kemanusiaan itu berdiri sendiri. Itu semua pasti ada pangkal persoalannya yang membuat polisi atau seorang ibu nekat. Mungkin mereka sudah buntu menemukan keadilan akhirnya gelap mata dan tak ada lagi seseorang yang bisa diajak berkomunikasi.

  Begitu pula, seorang wakil rakyat dan pejabat tetap tanpa rasa malu merampok uang negara yang nota bene uang rakyat, itu juga bermula dari ketidaktegasan aparat hukum menegakkan hukum. Mereka merasa nyaman melakukan korupsi karena aparat hukumnya juga rapuh, mudah dibeli.

  Sekalinya rejim sekarang bertekad ingin memberantas kasus korupsi, mereka melakukan perlawanan karena dari semula para koruptor selalu dimanjakan alias tak pernah tersentuh hukum. Mana mungkin kasus korupsi di Indonesia bisa tuntas sepanjang kasus Soeharto saja terus menggantung dan yang terjadi malah polemik yang makin menjauh dari upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

   Kita mungkin akan seperti ayah lima anak tadi. Esok atau lusa akan menerima laporan lagi ada ternak yang hilang. Esok hari, atau lusa, kita mungkin sudah tak terkejut lagi begitu mendengar pejabat atau wakil rakyat korupsi lagi, polisi menembak dirinya atau malah anaknya, ibu membakar anaknya, karena kita tak pernah mau mencari pangkal persoalannya hingga ketemu akar masalahnya.
Mungkin kita harus menerapkan resep dari Ram Charan. Bangsa kita membutuhkan orang-orang yang mampu melihat persoalan dari lanskap ketinggian, lalu terjun ke bawah untuk memilah dan memilih persoalan untuk segara diatasi dan dituntaskan setuntas-tuntasnya. *
Tribun Jabar, Sabtu 18 Maret 2007

Sunday, April 22, 2007

Buku Film Art

Saya memiliki buku tentang film dalam bahasa Inggris, berjudul "Film Art" karangan David Bordwell dan Kristin Thomspson. Buku tersebut sangat cocok bagi para kreator film atau siapa pun yang bergelut dalam film. Kalau Anda membutuhkannya, saya rela menjualnya. Anda cukup menghubungi di blog ini.

TROY

Troy
BISA dipastikan, Nurhcolish Madjid menulis buku "Indonesia Kita" erat kaitannya dengan pemilihan umum di Indonesia, terutama pemilihan presiden 2004 lalu. Isinya selain memaparkan secara umum cikal bakal jaman pra-Islam, sampai Indonesia pasca Soeharto, juga secara khusus memuat platform Indonesia baru. Maklum, Cak Nur walaupun gagal jadi calon presiden, terlanjur membuat platform.
Banyak juga buku lainnya yang cukup bermutu, dalam arti memberi pencerahan, terbit di saat Pemilu ini. Misalnya Percaturan Politik di Indonesia karangan Douglas Ramage. Penulis dengan cerdas mengungkapkan sepak terjang tokoh-tokoh Islam plus organisasinya dalam perpolitikan di tanah air. Sekadar contoh, dengan membaca buku ini kita bisa memahami peran Gus Dur dan NU dan PKB-nya, Soeharto dan ICMI dan militernya, begitu juga peran Amien Rais.
Tapi tak sedikit juga momentum pemilu 2004 itu dimanfaatkan oleh para tokoh politik untuk mengungkapkan dirinya, melalui biografi. Buku biografi tokoh politik yang tengah bertarung memperbutkan kekuasaan berserakan di toko-toko buku. Sayang isinya garing, tidak memberi pencerahan karena penulis sepertinya tidak mempunyai lagi independensi. Keberhasilan sang tokoh amat menonjol, seakan lupa bawa dirinya bukanlah malaikat. Tapi ini memang bagian dari pencitraan diri menjelang pertarungan. Siapa tahu mengail simpati.
Dan kalau film Troy yang dibintangi aktor ganteng Brad Pit beredar di Indonesia hampir berbarengan dengan momentum pemilu 2004, seratus persen, tak ada hubungannya dengan pemilu. Sekalipun para politisi nonton film ini, anggap saja sebagai tontonan hiburan, atau selebihnya adalah legitimasi bahwa manusia ternyata harus ambisius.
Sebagai film, Troy luar biasa. Settingnya bisa mengembalikan ke Yunani masa 3200 tahun lalu, aktingnya jempolan, perangnya kolosal, musiknya getir, kisah cintanya tragis. Lebih hebatnya lagi, kekejaman yang muncul dari adegan perang Troya bukan timbul karena cipratan darah, tapi timbul dari membatunya hati manusia, keangkuhan, plus ambisi. Padahal adegan awal sampai akhir tak luput dari tombak yang menghunjam jantung dan pedang menebas leher. Karena dikerjakan dengan selera seni, adegan perang pun jadi sangat artistik. Kekerasan itu mencuat bukan kekerasan vulgar, tapi kekerasan dari roh manusia.
Dalam kisah Troy bukan saja tak ada pihak yang benar, tapi juga tak ada satu pun tokoh yang benar. Tak satu pun tokoh layak disebut pahlawan. Pangeran Hector dan Archilles pun, yang selalu berusaha mencegah peperangan, keduanya tak berdaya dan terseret peperangan. Bahkan keduanya harus duel dan saling membunuh, atas nama dendam dan atas nama kehormatan kerajaan. Padahal mereka hanyalah korban politik dua kerajaan.
Kisah Troy sebenarnya mutiara bagi manusia. Bagaimana dua kerajaan yang sepakat menjalin perdamaian, malah kemudian mengabadikan pemusuhan. Gara-garanya sepele, kisah cinta yang diprovokasi oleh ambisi kekuasaan, akhirnnya menuai bencana, hancurnya peradaban.
Apakah drama politik yang melahirkan pertikaian harus selalu berulang? Apakah karena atas nama nasonalisme, atas nama agama, atas nama dinasti, manusia harus saling membunuh? Troy bukan sejarah tentang kepahlawanan. Troy melukiskan kepada kita, perdamaian selama ini hanya jadi gagasan, sementara yang nyata dan abadi adalah permusuhan. Jika calon presiden kita terobesi jadi pahlawan atas nama membasmi KKN tapi saling merusak, rakyat boleh cemas Indonesia bernasib seperti kerajaan Troy dan Spactra. Dalam sejarah di kemudian hari, nama mereka tak akan tercatat dengan nama besar.*

Percayakah Anda?

Sesungguhnya, apang yang dikatakan oleh Rhenald Kasali, penulis Re-Code Your Change, paralel dengan apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy. Mana mungkin orang bisa mengubah dunia, kalau dirinya tak bisa berubah. Sebaliknya, orang yang tak punya obsesi mengubah dunia, tapi DNA dalam dirinya cepat berubah, tak mustahil tanpa disadarinya sebenarnya telah mengubah dunia.
Percayakah Anda?
Kunjungilah blog ini, siapa tahu ada manfaatnya untuk Anda. Baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karier, sekolah atau bisnis Anda. Prinsipnya, blog yang bersahabat untuk masa depan kita.