Sunday, April 22, 2007

TROY

Troy
BISA dipastikan, Nurhcolish Madjid menulis buku "Indonesia Kita" erat kaitannya dengan pemilihan umum di Indonesia, terutama pemilihan presiden 2004 lalu. Isinya selain memaparkan secara umum cikal bakal jaman pra-Islam, sampai Indonesia pasca Soeharto, juga secara khusus memuat platform Indonesia baru. Maklum, Cak Nur walaupun gagal jadi calon presiden, terlanjur membuat platform.
Banyak juga buku lainnya yang cukup bermutu, dalam arti memberi pencerahan, terbit di saat Pemilu ini. Misalnya Percaturan Politik di Indonesia karangan Douglas Ramage. Penulis dengan cerdas mengungkapkan sepak terjang tokoh-tokoh Islam plus organisasinya dalam perpolitikan di tanah air. Sekadar contoh, dengan membaca buku ini kita bisa memahami peran Gus Dur dan NU dan PKB-nya, Soeharto dan ICMI dan militernya, begitu juga peran Amien Rais.
Tapi tak sedikit juga momentum pemilu 2004 itu dimanfaatkan oleh para tokoh politik untuk mengungkapkan dirinya, melalui biografi. Buku biografi tokoh politik yang tengah bertarung memperbutkan kekuasaan berserakan di toko-toko buku. Sayang isinya garing, tidak memberi pencerahan karena penulis sepertinya tidak mempunyai lagi independensi. Keberhasilan sang tokoh amat menonjol, seakan lupa bawa dirinya bukanlah malaikat. Tapi ini memang bagian dari pencitraan diri menjelang pertarungan. Siapa tahu mengail simpati.
Dan kalau film Troy yang dibintangi aktor ganteng Brad Pit beredar di Indonesia hampir berbarengan dengan momentum pemilu 2004, seratus persen, tak ada hubungannya dengan pemilu. Sekalipun para politisi nonton film ini, anggap saja sebagai tontonan hiburan, atau selebihnya adalah legitimasi bahwa manusia ternyata harus ambisius.
Sebagai film, Troy luar biasa. Settingnya bisa mengembalikan ke Yunani masa 3200 tahun lalu, aktingnya jempolan, perangnya kolosal, musiknya getir, kisah cintanya tragis. Lebih hebatnya lagi, kekejaman yang muncul dari adegan perang Troya bukan timbul karena cipratan darah, tapi timbul dari membatunya hati manusia, keangkuhan, plus ambisi. Padahal adegan awal sampai akhir tak luput dari tombak yang menghunjam jantung dan pedang menebas leher. Karena dikerjakan dengan selera seni, adegan perang pun jadi sangat artistik. Kekerasan itu mencuat bukan kekerasan vulgar, tapi kekerasan dari roh manusia.
Dalam kisah Troy bukan saja tak ada pihak yang benar, tapi juga tak ada satu pun tokoh yang benar. Tak satu pun tokoh layak disebut pahlawan. Pangeran Hector dan Archilles pun, yang selalu berusaha mencegah peperangan, keduanya tak berdaya dan terseret peperangan. Bahkan keduanya harus duel dan saling membunuh, atas nama dendam dan atas nama kehormatan kerajaan. Padahal mereka hanyalah korban politik dua kerajaan.
Kisah Troy sebenarnya mutiara bagi manusia. Bagaimana dua kerajaan yang sepakat menjalin perdamaian, malah kemudian mengabadikan pemusuhan. Gara-garanya sepele, kisah cinta yang diprovokasi oleh ambisi kekuasaan, akhirnnya menuai bencana, hancurnya peradaban.
Apakah drama politik yang melahirkan pertikaian harus selalu berulang? Apakah karena atas nama nasonalisme, atas nama agama, atas nama dinasti, manusia harus saling membunuh? Troy bukan sejarah tentang kepahlawanan. Troy melukiskan kepada kita, perdamaian selama ini hanya jadi gagasan, sementara yang nyata dan abadi adalah permusuhan. Jika calon presiden kita terobesi jadi pahlawan atas nama membasmi KKN tapi saling merusak, rakyat boleh cemas Indonesia bernasib seperti kerajaan Troy dan Spactra. Dalam sejarah di kemudian hari, nama mereka tak akan tercatat dengan nama besar.*

2 comments:

Anonymous said...

Boleh juga tulisannya......

Unknown said...

Halo Kang. Salam aja...dari Eddy di Batam.